Perkamen: Perjalanan cinta (Cinta?)ku yang berliku

Tulisan ini, aku persembahkan untuk salah satu kawan labku yang ingin tahu bagaimana perjalanan cintaku (Cintaku) termasuk kisahku dengannya yang juga kawan kita di lab. Ya.., kau tahu siapa, kan? Bagi teman-teman yang lain, yang tidak tahu, selamat menyimak. Mungkin aku akan menjelaskan diriku sendiri sebelum menjelaskan bagaimana perjalanan cinta (Cinta) yang menurutku berliku, tanpa petunjuk, dan membuatku lelah.

Namaku Krishna. Beberapa orang memanggilku dengan nama babtisku, yaitu Alberto, lainnya lagi memanggilku sebagai Winning (meskipun saat ini sudah jarang orang yang memanggilku begini dan pastinya aku langsung tahu siapa dia serta dari timeline hidupku yang mana). Ketika aku menulis pos ini, aku merupakan pria berusia 30 tahun, sudah pernah bekerja dan berhenti bekerja karena studi lanjut. Yah.., tidak masalah namanya juga upgrade ilmu, nambah relasi yang hebat dan keren, sekaligus mengharapkan sebuah pekerjaan dari ijazah magisterku. Aku senang dengan kimia dan komputer. Jadi aku mengambil peminatan kimia fisika yang lebih spesifiknya Kimia Komputasi. Topik penelitian tesisku berkutat tentang simulasi larutan kimia, secara spesifik water-in-salt natrium bis-(trifluorometanasulfonil)imida untuk menyelidiki diffusivity, transport ion dan konduktivitas ionik. Tiga hal tersebut penting untuk baterai dan sangat menarik.

Aku dibesarkan di lingkungan orang sederhana di kota tempat dimakamkannya ibu Kartini, sang pahlawan emansipasi perempuan Indonesia. Sering kali dialek tempatku dibesarkan juga masih terucap dari mulutku ketika aku berbicara dengan orang lain. Orang tuaku keduanya guru, bapakku guru kimia dan ibuku guru penjasorkes. Menurutku keduanya sama-sama sibuk dengan pekerjaannya. Yah.., kau tahulah bagaimana guru di Republik ini, tidak cuma mengajar namun juga administrasi yang dibebankan sangat banyak dan menurutku berat. Bahkan, aku mengalami sendiri, sebab aku menjadi guru selama 4 tahun; salah satu timeline hidupku untuk belajar, namun dibayar. Meskipun mereka sibuk dengan pekerjaannya, mereka tetap memberikan perhatiannya juga untuk anak-anaknya.

Hal lain yang mungkin mempengaruhiku dalam menjalin relasi, utamanya relasi romantis. Aku merasa tidak seperti anak-anak yang lain. Mungkin beberapa dari kamu pasti diberikan penjelasan, kalau kita sebagai manusia apalagi remaja, normal untuk tertarik dengan lawan jenis; termasuk juga perasaan berbunga-bunga terhadap lawan jenis pada masa remaja itu; sejauh masih dalam relasi yang sehat. Aku mungkin kurang bisa pada masa remaja itu. Masa remajaku habis untuk berkegiatan mengembangkan diri, seperti kepanduan (kepramukaan) dan olimpiade sains, meskipun tidak pernah menang. Pada masa remaja ini juga aku merasa dilarang oleh ibuku untuk memberikan harapan atau untuk tertarik secara normal ke perempuan. Penyebab larangan ini adalah karena keinginanku, waktu itu untuk menjadi rohaniwan katolik. Akupun waktu itu tidak berani melawan, sebab aku merasa terperangkap dalam perintah dalam Kitab Keluaran: "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu." (Keluaran 20: 12). Aku tidak paham konteks menghormati itu seperti apa, apakah halal untuk membantah, menolak dan tidak taat? Aku juga merasa tidak mampu untuk berekspresi atas ketidaksukaanku. Aku merasa terjebak di lingkungan timur yang menuntut penghormatan dalam bentuk ketaatan buta, layaknya feodalis. Mungkin beberapa dari kamu akan menganggapku sebagai anak durhaka. Benar memang, Ali Haji mengungkapkan dalam Gurindam 12-nya1 yang terkenal itu, bahwa jika anak tidak dilatih maka ayahnya letih. Masalahnya di sini adalah caranya, apalagi dalam mendidik anak, tidak ada buku manualnya. Selama ini, manual hidup manusia itu terbatas pada Kitab Suci dan tafsir-tafsirnya. Itupun tafsirnya ada yang menyesatkan. Selain itu, sebagai anak juga tidak boleh durhaka terhadap ibu agar tubuh kita bisa selamat dan ayah agar Allah tidak murka yang selaras dengan Keluaran 20: 12. Ya begitulah.

Keinginanku untuk menjadi Rohaniawan Katolik itu, aku coba wujudkan juga, meskipun sebenarnya aku ragu, apakah aku bakal cocok dengan hidup seperti itu, atau tidak. Akupun juga gak yakin apakah benar keinginan itu cuma omongan bocil atau memang dari dalam hati. Menurutku panggilan hidup seperti ini, perlu diuji. Setelah kuliah sarjanaku selesai dan wisuda, aku mencoba untuk ikut program prompang Serikat Yesus, namun aku tidak sampai solisitasi2. Sempat juga sebelum pulang, aku diberikan masukan-masukan dari para pembimbing, jika memang ingin bergabung ke Serikat Yesus. Ada hal yang sebenarnya, aku lebih nyaman menyampaikannya di kamar pengakuan daripada semacam disidang (aku tidak tahu apa istilah yang tepat); tetapi kondisinya tidak dalam perayaan sakramen tobat yang imamnya memakai stola ungu. Ya sudah, tidak masalah. Mungkin aku perlu menyelesaikan masalah itu sendiri dan memang masalah pribadi yang yah..., mungkin itu sisi lainku atau sisi binatangku. Aku tidak bisa menuliskan hal itu di sini, menurutku hal itu memalukan. Kalau kamu penasaran, kata kunci ini bisa jadi petunjuk: tabu, Sanji (One Piece) dan melawan diri sendiri. Setelah ikut prompang itu, aku mencoba cari informasi tentang imam diosesan. Aku mencari informasi itu atas dasar penasaran saja. Oleh para romo itu malah diajak untuk ikut rekoleksi panggilan sekaligus wawancara. Aku tidak melakukan semacam defense mechanism tertentu dan ya sudah tahu-tahu setelah acara selesai, aku dipanggil romo paroki. Romo paroki mengirimkan surat rekomendasi kepada seminari tempat dibinanya para imam diosesan itu. Aku kaget dan aku diminta juga datang ke sana pada tanggal tertentu. Pada tanggal itu, aku tidak bisa karena ada pekerjaan. Ya sudah, lagipula aku cukup tahu saja. Aku kerja dan jika ada kesempatan, kuliah lagi; sesuai dengan saran pembimbing prompang Serikat Yesus itu. Setelah prompang itu, aku sempat kerja 3 tahun sebelum aku memutuskan kuliah magister kimia, tanpa beasiswa. Akupun membuat keputusan (entah memang tetap atau masih sementara) untuk menjadi pria yang berkeluarga kelak.

Tentang Cinta dan cinta, aku ingin kamu mengerti mengapa aku membedakannya menjadi 2 kata dengan dua huruf yang berbeda. Kata cinta yang tanpa huruf kapital, merupakan cinta eros yaitu yang sifatnya transaksional. Sebaliknya, kata Cinta dengan huruf C kapital merupakan Cinta tulus tanpa syarat3, meskipun di dunia ini there is no free lunch. Itulah yang terjadi bahwa setiap orang pastinya akan mengalami cinta, kemudian Cinta. Cinta transaksional (eros) yang dimaksud termasuk juga cinta karena indrawi kita yang melihat bentuk tubuh orang, kecantikan, dan lain sebagainya. Tidak munafik, memang sebagai lelaki tertarik dengan perempuan yang cantik dan menarik tetapi akankah cinta itu berkembang menjadi Cinta? Tidak semua cinta menjadi Cinta. Mungkin inilah kisahku yang boleh jadi rumit.

Masa SMA

Kalau dipikir-pikir dengan paradigmaku saat ini, masa SMA-ku itu cukup pengecut. Aku mengatakan cintaku pada cinta (monyet) pertamaku itu cuma lewat SMS. Awalnya aku sudah membangun kedekatan dengannya juga lewat SMS. Alasan yang aku lontarkan waktu itu adalah sekedar membuang bonus4. Dia cantik menurutku, selain itu juga pandai. Orang tua kami juga saling kenal. Bapakku dan bapaknya bekerja di lokasi/sekolah yang sama. Saat ini, dia sudah menikah dan punya 2 anak. Dalam resepsi pernikahannya banyak temannya datang dan tahu, kalau aku menjalin relasi romantis itu.

Aku ingat betul, waktu itu, Meilisa, teman satu genk-nya, bertanya padaku dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih seperti ini: "Bagaimana rasanya Krish, datang di nikahan mantan?" Aku hanya menjawab, "Yah.., mau bagaimana lagi? Sejauh dia berbahagia dengan pasangannya, ya sudah." Aku menjawab jawaban itu, karena memang diantara kami, memang tidak mungkin melanjutkan relasi romantis itu sampai jenjang yang benar-benar serius, yaitu agama. Lalu bagaimana bisa kami berpacaran, meski hanya lewat SMS?

Kami beda sekolah, jadi kami sering untuk berelasi lewat SMS saja. Relasi kami sudah terjalin sejak SMP. Kami bertemu hanya lewat kompetisi antar sekolah yang melibatkan kedua sekolah kami. Kami jarang banget ketemu bahkan ketika pacaran. Ya sudah, kami cuma modal SMS, yah kalau anak sekarang menyebut aku ini sebagai mokondo atau gak modal. Orang tuaku gak tahu, kalau aku berpacaran sampai pada saat aku menemani bapakku dalam perjalanan pulang acara di sekolahnya. Bapakku bertanya apa benar aku sudah berpacaran dengan anak dari temannya. Aku mengakuinya. Bapakku memperingatkan, kalau dia beragama lain. Ya sudah, sampai pada saat aku menerima SMS darinya yang mempertanyakan relasi kami. Kami benar-benar putus ketika dia menghubungiku dan menyatakan putus. Dia juga mengucapkan terima kasih atas perhatian dan semuanya. Dia sadar, bahwa relasi romantis ini tidak mungkin dilanjutkan, karena terhalang keyakinan. Ya sudahlah, apa kata bapakku juga tidak salah. Pernah juga berpikiran untuk mengajaknya menjadi katolik, namun tampaknya sulit.

Masa Kuliah dan kerja

Kisah berikutnya adalah masa kuliah dan kerja. Mungkin akan aku bagi menjadi 3 bagian: kuliah sarjana, kerja dan kuliah magister. Aku membaginya seperti itu, agar lebih mudah untuk diceritakan dan selama kuliah itu memang banyak orang yang mengisi timeline hidupku. Aku sudah menulis catatan akhir kuliah magister. Untukmu yang mau membacanya, bisa klik link tulisan ini.

Kuliah sarjana

Setelah masa SMA, aku berkuliah di prodi Kimia Unnes. Pada waktu itu, aku sangat mensyukuri kondisiku, bahwa aku diterima di prodi kimia Unnes. Banyak orang menanyakan ke aku, mengapa tidak mendaftar ke tempat lain. Aku berpikir, bahwa tidak masalah diterima di Unnes. Lagipula sempat beredar kabar burung seperti ini: apabila peserta yang lolos SNMPTN non tulis (nama lama untuk SNBP) tetapi tidak melakukan lapor diri atau daftar ulang ke kampus tempat dia diterima, maka sekolah asal peserta akan dimasukkan daftar hitam. Apabila ada anak atau peserta dari sekolah yang masuk daftar hitam yang mau mendaftar ke kampus yang ditolak anak yang pernah diterima di situ, maka anak itu tidak akan diterima di situ.

Ketika daftar ulang, aku sebenarnya iri dengan siswa lain. Siswa lain diantar orang tuanya, diantar kakaknya atau siapapun. Aku tidak diantar siapapun. Aku berangkat sendiri dengan sepeda motorku. Bapakku mengatakan, seandainya aku kesulitan, setidaknya bisa menghubungi teman bapakku. Aku tidak memikirkan akan relasi romantis. Aku mungkin mempertimbangkan untuk masuk biara atau menjadi rohaniawan katolik waktu itu. Aku masih berpikir bahwa panggilan menjadi rohaniawan itu merupakan panggilan yang baik dan suci, tetapi tidak lebih suci dibandingkan dengan panggilan untuk berkeluarga. Aku juga berpikir berdasarkan data, bahwa laju pertumbuhan umat katolik dunia positif, sedangkan imam yang melayani pertumbuhannya negatif. Jadi waktu itu, aku agak mantab karena data tersebut.

Ketika kuliah sarjana, aku ketemu teman-teman baru, baik yang lelaki ataupun perempuan. Teman baru itu, termasuk teman dari universitas lain di Semarang. Selama perkuliahan ini, aku setidaknya sempat berkawan dan mencoba untuk menjalin relasi romantis dengan teman lain itu. Sepanjang aku kuliah tingkat sarjana, setidaknya ada n perempuan yang boleh dibilang dekat denganku. Mereka ini teman kuliah satu universitas dan teman berbeda universitas di Semarang. Wah.., apakah aku termasuk playboy? Entahlah. Silakan nilai sendiri. Jika seseorang bertanya: "Jika memang kamu agak mantab karena data pertumbuhan umat Katolik positif; sedangkan pertumbuhan imamnya negatif, maka mengapa kamu berpacaran atau menjalin relasi romantis?" Aku akan menjawab: "mungkin inilah caraku untuk membuktikan panggilan itu. Aku menganggap kedua panggilan sebagai orang biasa yang menikah dan kaum berjubah hierarki itu sama-sama sucinya. Selain itu, aku juga ingin tahu bagaimana cara kerja kehendak bebas itu; meskipun sampai saat ini aku belum begitu yakin tentang kehendak bebas itu bagaimana." Apakah jawabanku dan tindakanku selama ini mencobai Allah? Silakan nilai sendiri. Setidaknya aku mencoba untuk menguji panggilanku sendiri, sebab ada imam yang pada akhirnya tidak melanjutkan perannya sebagai imam untuk umat Allah. Menurutku, mengapa harus keluar dari ordo/kongregasi atau keuskupan untuk menjadi awam? Inilah yang harus diolah. Kurang lebih, seperti inilah caraku.

Selama kuliah ini, aku fokus belajar dan juga mencari hal lain yang sekiranya bisa berguna. Cara untuk mencari hal lain itu adalah dengan mengikuti UKM di kampus. Aku hanya mengikuti UKM PKKMK/UKKK (Pelayanan Kerohanian Keluarga Mahasiswa Katolik/Unit Kerohanian Kristen Katolik) dan PSM FMIPA Bina Vocalia. Selain itu, aku juga berkegiatan di luar kampus, antara lain aku pernah mencoba untuk mengikuti seleksi untuk anggota Dewan Kerja Daerah Jawa Tengah (gagal), mengikuti seleksi Pramuka Garuda Berprestasi Nasional (peringkat III Nasional), menerima lencana teladan dari Gerakan Pramuka dan juga bekerja dengan menjadi guru les kimia yang sifatnya tidak mengganggu kuliahku.

Aku mulai dari kuliah agama Katolik yang diampu (secara administratif) oleh Suster Kristo dari kongregasi Abdi Dalem Sang Kristus5. Kuliah agama Katolik di Unnes merupakan mata kuliah umum. Jadi, peserta kuliah merupakan semua mahasiswa di Unnes yang sedang mengambil mata kuliah agama atau yang mengulang. Agama mengulang? Iya. Kebanyakan yang mengulang adalah mereka yang kurang aktif dalam perkuliahan dan kegiatan Analisa Sosial.

Aku melihat semua teman-teman dalam perkuliahan itu. Menurutku jalannya perkuliahan itu sangat menyenangkan, karena aku bisa mengenal teman-teman dari fakultas lain selain dari FMIPA. Ada seorang teman dari fakultas bahasa dan seni prodi bahasa Perancis namanya Niska (aku lupa nama lengkapnya, aku hanya ingat nama babtisnya itu santo Dominikus atau Dominique versi nama perempuannya), yang kebetulan satu kelompok denganku. Begitu aku mengetahui bahwa Niska itu dari prodi Bahasa Perancis, aku juga mencoba untuk masuk dunianya lewat bahasa Perancis. Aku menjalin relasi dengannya dengan Bahasa Perancis, yah.., sedikit-sedikit bisa berbahasa Perancis.

Bagaimana relasiku dengannya, yah.., boleh dibilang aku hanya berfungsi sebagai tukang ojeknya saja. Sebab kenyantaannya kami sering pergi bersama dan ngobrol saja. Entah mengerjakan tugas untuk perkuliahan agama atau sekedar ke mall atau acara lain. Sejujurnya aku tidak pernah nembak dia untuk mau menjadi kekasihku. Jadi aku mungkin hanya berteman akrab dan biarlah pertemanan kami itu terjadi secara alamiah, sehingga bisa berpacaran. Ternyata tidak bisa. Komunikasi untuk membicarakan perasaan itu penting. Yah.., mungkin karena aku gak membicarakan tentang perasaan, aku jadi ditinggalnya dengan mendengar bahwa dia telah menjalin relasi dengan orang lain. Bagaimana aku tahu? Aku mengetahuinya dari orang lain yang satu fakultas dengannya.

Aku tidak ingat apakah aku pernah ke gereja bareng dengannya. Aku hanya ingat waktu itu, kita sudah tidak kontak lama yang disebabkan topik pembicaraanku yang tidak pada tempatnya. Pembicaraan yang tidak pada tempatnya itu mungkin membuat orang lelah. Suatu hari saat semester kuliahku banyak dan dia sudah tinggal nunggu wisuda saja, dia mencoba chat aku. Dia mengajakku ke Katedral Santa Maria Ratu Rosario Suci, Semarang untuk misa bareng. Ternyata dia mengungkapkan akan menikah, namun tidak dalam lingkungan Gereja Katolik. Jadi dia mendapatkan pria Protestan dan pria itu memintanya untuk bergabung ke gereja dengan babtis. Waktu itu, aku biasa aja; aku cuma bilang untuk bisa menjadi ibu dan istri yang baik untuk anak dan suamimu. Entahlah ya, mungkin dalam pikirannya, aku akan menghalangi atau kecewa dengan keputusannya untuk pindah gereja. Menurutku, keputusan pindah gereja atau pindah agama dan keyakinan merupakan ranah privat yang setiap orang tidak berhak untuk menghakiminya. Sebagai seorang Katolik, aku hanya bilang untuk jadi Protestan yang baik. Entah apa ukurannya, aku sempat kepikiran, orang yang seperti ini kena dogma extra ecclesia, nulla salus6. Kayaknya kalimat sebelumnya ini, sangat menghakimi, ya. Yah.., maafkan aku; sebab bunyi dogmanya kurang lebih seperti itu.

Setelah aku tidak berelasi romantis dengannya, aku sejenak tidak menjalin relasi romantis apapun dengan siapapun sampai pada penerimaan mahasiswa baru. Aku hanya aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, seperti UKM kerohanian dan PSM seperti yang sudah aku ceritakan pada alinea sebelumnya. Sampai pada saat aku mencoba mendaftar sebagai asisten untuk kegiatan Analisa Sosial. Aku berhasil bergabung sebagai asisten untuk kegiatan Analisa Sosial itu. Kita dikumpulkan untuk dilakukan pelatihan bersama dengan asisten kegiatan Analisa Sosial dari kampus lain. Kita dilatih untuk mengajar di sana. Aku merasa biasa aja dan berusaha menjadi asisten yang baik. Jadi aku memberikan materi tentang dokumen-dokumen dari Takhta Suci tentang Ajaran Sosial Gereja. Sehingga materi yang aku antarkan atau ajarkan ini merupakan materi yang serius.

Pada masa ini, aku fokus untuk melakukan asistensi dan ketemulah dengan Mita. Dia mahasiswi dari fakultas ekonomi Unnes, prodi akuntansi. Aku mencoba untuk menjalin relasi romantis dengannya. Bagaimana kami bertemu? Jadi waktu itu ada kompetisi seni dan olahraga antar fakultas di Unnes. Salah satu mata komptetisinya adalah paduan suara. Setiap fakultas mengirimkan satu PSM-nya untuk dilombakan. Aku ingat kalau PSM-ku tidak ikut kompetisi itu. Lantas aku hanya menonton dan mengapresiasi saja. Mita, waktu itu, ikut sebagai peserta bersama PSM-nya. Dia pakai gaun warna biru dan waktu itu cantik banget, meskipun sebenarnya kulitnya tidak begitu terang. Mungkin beberapa orang menganggap gaun dan kulitnya kurang cocok. Kulitnya itu memperlihatkan kulit khas orang Indonesia. Itu cantik menurutku.

Setelah penampilan PSM-nya, aku mendekati kaki panggung dan secara reflek menuntunnya untuk menuruni tangga dengan memegang tangannya. Cara memegang tangannya itu seperti orang yang mau mengajak berdansa a la eropa atau Laendler. Kalau kamu tidak bisa membayangkan seperti apa, mungkin video ini bisa membantu. Perhatikan Kapten von Trapp (yang diperankan oleh Christopher Plummer) yang mengajak Fraulain Maria (yang diperankan oleh Julie Andrews) untuk Laendler.

Setelah sampai bawah panggung, aku mencium punggung tangannya. Dia pun merasa tersipu dan aku berkata kalau penampilan tadi bagus. Aku tidak ingat siapa yang melihatku melakukan itu. Andaikan kamu bertanya, apa motivasiku; maka aku menjawab kekaguman dan reflek juga. Akhirnya kami menjalin relasi romantis itu. Aku menemaninya nugas, aku minta tolong untuk ajari adikku persiapan ujian, kita juga sempat sedikit ngobrol. Namun dia entah mengapa menghilang. Belakangan setelah Mita menikah, aku diberitahu oleh Agatha kalau dia merasa sulit untuk ngobrol dan berkomunikasi denganku. Agatha mengatakan kalau aku mungkin tidak punya pembahasan yang benar-benar nyambung dengan dunianya.

Sampai kepada akhir tahun akademik dan dimulai lagi penerimaan asisten baru untuk kegiatan Analisa Sosial. Tata caranya masih sama dan pelatihan yang dilakukan bersama dengan calon asisten baru dari berbagai kampus di Semarang. Pada waktu itu, aku memberikan materi. Aku tidak begitu memperhatikan siapa pesertanya, sampai kami pada sesi makan malam. Pada sesi tersebut kami saling ngobrol dan berkenalan secara lebih dalam.

Aku duduk berseberangan dengan mahasiswi Teknik Kimia Undip yang namanya Tina. Kami makan sambil ngobrol dan kami terlibat dalam pembicaraan tentang kimia. Kebetulan, dia merasa kesulitan pada topik kimia organik. Menurutnya, dosen pengampu mata kuliah itu mengajarkan kepada mahasiswanya terlalu cepat. Pembicaraan itu membuat kami masuk dalam relasi romantis.

Kami sering ketemu setelah pembicaraan saat makan malam itu. Kami, waktu itu, sering berdiskusi, akupun menolongnya ketika dia tidak bisa mengerjakan tugas. Pernah juga karena ada kegiatan lain, dia memintaku untuk menggantikannya melakukan asistensi untuk kegiatan Analisa Sosial di Undip. Sejak itu, relasi kami semakin akrab. Aku sering ke kosnya untuk sekedar duduk saja di teras kosnya. Jadi di teras kosnya, terdapat 2 kursi. Aku ingat waktu itu, sembari kita ngobrol, kepalanya disandarkan pada bahuku. Sejujurnya, inilah kali pertamanya bahuku dijadikan senderan kepala seseorang yang memang sengaja. Dahulu, aku pernah menolong orang kecelakaan dan hanya ada aku dan orang lain yang aku tidak kenal di sana. Karena situasi dan keadaan korban yang terluka (berdarah), aku dengan motorku membawanya ke rumah sakit terdekat. Korban yang seorang perempuan memelukku dari belakang. Aku memahami, mungkin dia jadi trauma karena kecelakaan itu sehingga dia memelukku erat.

Kembali ke ceritaku dengan Tina. Aku agak kaget, meskipun aku menikmatinya juga. Aku meberanikan diri untuk membelai rambutnya yang panjang dan agak berombak itu. Dia tidak marah. Entah mengapa, aku merasa senang dan agak panik. Rasa panik itu timbul mungkin karena baru pertama kalinya bahuku digunakan untuk sandaran kepala perempuan. Suatu hari ketika aku akan pulang, dia pernah menahanku untuk lebih lama bersama. Aku menolak, karena memang ada pekerjaan lain yang perlu dikerjakan.

Selain aku yang ke kosnya, dia juga datang ke rumah7 yang aku tinggali di Semarang. Kita juga belajar bareng dan ngobrol bareng. Di dalam rumah itu, ada ruang tengah yang ada meja besar yang biasa aku pakai untuk belajar dan meletakkan barang lain. Aku biasanya belajar di situ secara lesehan. Ketika kami belajar dan merasa lelah, aku hanya mengambil minum dan duduk bersila menikmati minuman itu dan dia juga melakukan hal yang sama. Aku tidak tahu kondisi perkuliahannya di kampus, dia lantas menidurkan kepalanya di atas pahaku. Aku tidak menolaknya dan di posisi itu, kami saling bercerita. Pada posisi itu juga, aku dan dia saling pandang dalam diam. Tak jarang juga kami saling adu hidung yang belakangan aku baru ketahui, bahwa adu hidung itu khas dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Makna dari adu hidung adalah penghormatan dan keakraban antara dua orang yang adu hidung itu. Oh iya, aku belum mendeskripsikan Tina, ya. Tina ini asalnya dari Yogyakarta tetapi ayahnya orang Timor dan ibunya orang Jawa. Setelah aku tanyai lebih dalam, ternyata moyang dari ayahnya merupakan orang Portugis. Dia tidak menceritakan secara spesifik turunan ke berapa. Jadi, kurang lebih tingginya hampir sama denganku dan boleh dibilang, kalau anak sekarang menyebutnya, cewek pulen. Jadi aku rasa, adu hidung kami ini sifatnya reflek.

Kami sering adu hidung ketika bertemu. Bahkan mungkin lebih buruknya (jika itu dinilai buruk, tergantung pada perspektifnya), kami berciuman. Jangan dibayangkan ciuman di pipi atau di dahi, boleh dibilang kami berciuman a la Perancis (French kiss). Ya, kami berciuman mulut bertemu mulut. Aku tidak tahu siapa yang memulainya. Awalnya aku kaget namun menikmatinya juga. Aku begitu larut dalam emosi dan asmara. Aku merasa sulit menolak ciuman di bibir itu.

Bagaimana kami bisa putus? Tina meninggalkanku. Dia menilai aku pria yang terlalu baik buatnya (alasan klasik banget gak, sih?). Dia mungkin menilai dirinya kurang pantas untukku. Dia juga berpendapat, kalau aku memang ingin menjadi rohaniawan, inilah bentuk dukungan itu. Sempat aku bertanya, apa yang terjadi kalau kami ketemu lagi dalam kondisi yang berbeda dalam arti aku tidak jadi rohaniawan. Jawabnya: tidak akan. Dia akan menghindari pertemuan kami. Pembicaraan kami ini dilakukan di depan Indomart Jalan Ngesrep Semarang (sekarang berubah menjadi Jalan Prof. Soedarto). Aku selalu mengingat kejadian itu, ketika aku melewati jalan itu, entah menuju Undip atau ke sekitar lokasi dekat Undip. Aku pun pernah berlinang air mata, ketika melewati jalan itu; berharap kejadian itu tidak pernah terjadi.

Setelah kejadian itu, aku tidak menjalin relasi romantis lagi untuk sementara waktu. Lantas, apakah tidak ada perempuan yang dekat dengaku? Ada. Pertama Angel. Dia satu fakultas dengan Mita, hanya berbeda angkatan. Dia adik tingkat dari Mita dan beda prodi. Aku gak ingat, apakah mereka saling mengenal atau tidak. Angel ini mirip dengan kekasihnya adikku saat ini dan menurutku cantik. Aku sebenarnya suka dengannya, namun aku belum sempat menyatakan rasa itu ke dia. Meski demikian, tampaknya antara kami sudah saling mengerti. Dia mengerti, kalau aku masih belum memutuskan apakah setelah kuliah masuk seminari untuk memulai menjadi rohaniawan atau hidup sebagai orang biasa yang menikah. Jadi pernah waktu itu, setelah aku sidang skripsi (sepertinya), aku menemuinya di depan gedung D8 FMIPA Unnes (atau gedung laboratorium kimia) saat maghrib. Jangan salah, ya. Kami gak macem-macem kok. Kami cuma ngobrol saja dengan topik pilihan hidup sekaligus memastikan perasaan. Kesimpulan obrolan kami waktu itu adalah pastikan dulu pilihan hidupku itu akan bagaimana, selain itu relasi antara kami tetap berteman. Bahkan ekstrimnya adalah yah.., tanpa ada rasa.

Kedua, Miracela. Dia adik tingkatku. Aku menganggapnya cuma adik tingkat saja. Dia ada pertanyaan atau hal yang bingung tentang kimia, ya aku jawab selama aku bisa menjawab. Penelitiannya itu tentang kimia organik. Aku pernah ke rumahnya dan tahu sedikit tentang orang tuanya, diapun juga sempat bercerita masalah pribadinya. Awalnya sih, aku merasa aneh. Dia percaya denganku, kalau aku tidak akan membocorkannya. Singkat cerita, dia mengajakku ke Goa Maria Kerep Ambarawa. Kami naik motor berboncengan. Kami berdoa masing-masing dan selanjutnya kami jalan-jalan di lingkungan sekitar goa Maria itu. Kami akhirnya duduk di dekat kapel adorasi Ekaristi abadi dan perhentian jalan salib stasi Yesus wafat di salib. Miracela mengatakan, kalau dia suka denganku namun dia ternyata tahu kalau aku lebih memilih Angel dan juga aku sendiri yang masih belum memilih pilihan hidupku yang sebenarnya. Waktu itu aku terkejut dan hanya bisa diam sejenak. Saat diam itu, aku hanya berkata dalam hati, "Maafkan aku ya. Maaf kalau hatimu terluka." Lantas aku hanya bertanya mengapa baru bilang sekarang. Ternyata, Miracela tidak berani untuk bilang. Ya sudah. Sejak saat itu, kami pun juga tetap berteman baik.

Ketiga, Yusti. Dia ini mahasiswi prodi Pendidikan Fisika yang satu angkatan denganku. Dia cantik, menurutku. Yah.., cantiknya orang Jawa, lah. Rambutnya panjang agak bergelombang dan aku suka dengan suaranya ketika dia memanggilku dengan panggilan "Na" atau "Nak". Saat aku tanya mengapa dia memanggilku begitu, dia menjawab untuk membedakan dengan panggilan temannya. Jadi dia punya teman yang bernama Kristina dan dia sudah biasa memanggilnya Kris. Kami sewaktu semester 4 atau 5, sering ketemu di selasar gedung kuliah FMIPA (waktu itu gedung D3). Aku sering lihat dia di selasar gedung, yah..., sedang nugas lah, sedang bikin project, atau sekedar bersantai menunggu kelas berikutnya. Aku sering mendekatinya ketika santai hanya sekedar untuk ngobrol. Topiknya banyak, sih. Salah satunya kami pernah bahas fisika modern. Berat banget, ya? Ya memang. Pada topik itulah bidang keilmuan kami ini beririsan.

Keakrabanku dengan Yusti ini juga berlangsung saat dia PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) dan aku KKN di Kendal. Seingatku, keberangkatan PPL-nya lebih cepat 1 bulan dibandingkan keberangkatan KKN-ku. Jadi, sebelum keberangkatan PPL, kami mencari kos bersama untuk ditinggalinya dengan kelompok PPL-nya. Singkat cerita, kami menemukan kos yang dekat dengan sekolah tempat dia PPL. Akupun turut senang ketika dapat tempat yang dekat dengan sekolah tempat dia PPL. Anggota kelompok PPL-nya, ketika melihat kami mengira kalau kami sendang berpacaran, padahal aku belum sama sekali menyatakan perasaan dan resmi berpacaran dengannya. Aku hanya menjawab, kalau kami hanya berteman. Selama PPL dan KKN, kami sering ke gereja bareng dan kebetulan guru pamongnya Yusti, seorang Katolik juga. Beliau melihat kami ke gereja bareng dan sempat mendoakan semoga bisa cocok dan berjodoh.

Hari wisuda Yusti tiba dan aku masih di laboratorium. Mereka merayakan wisuda dan aku masih kerja di laboratorium. Aku merasa kesal dan rasa itu masih ada hingga saat ini. Rasa amarah karena aku tidak bisa bareng dengan mereka, aku yang ditinggalkan, aku yang seperti tequila, mereka yang tidak ada timbal baliknya sama sekali rasanya masih ada, bahkan saat kuliah magisterpun begitu. Rasa traumatik itu masih ada. Aku merasa masih belum bisa mengelola emosi ini. Aku hanya memunggungi mereka yang merayakan itu. Payah, ya aku? Selain itu, Dari orang dekatku seperti saudara (terutama sepupu), paman dan orang tua temanku selalu mengatakan, "Ngapain lama-lama Krish? Skripsinya dikerjakan lah. gak usah yang sulit-sulit." Dalam hatiku, "Bajingan nih orang! Nih naskah, nih data, bisa bantu aku? Omong doang gampang ya? Tai emang." Angel dan Yusti berusaha meredam emosiku lewat chat WhatsApp. Mereka mengingatkanku untuk bersabar. Yusti berusaha juga untuk mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Dari caranya itu, aku menjadi semakin jatuh hati ke Yusti. Hingga suatu hari, saat dia selesai interview kerja, aku menjemputnya dan mengantarkan ke kosnya. Hari itu, seingatku 3 hari atau 1 minggu sebelum dia pulang ke Wonogiri. Di ruang tamu kosnya yang cukup sepi, aku menyatakan cintaku ke dia, namun ditolaknya. Dia mengatakan, "Kalau berpacaran, tahukan muaranya ke mana, na? Coba deh na, kalau kita menikah, bangun tidur sudah ketemu orang yang sama. Kita berangkat kerja, sejenak kita tidak ketemu. Pulang ketemu orang yang sama. Apa udah siap dengan kondisi yang seperti itu?" Aku hanya diam. "Lagipula, .." lanjutnya, "kamu kan mau masuk seminari dan jadi imam, kan na? Gak dicoba dulu aja?" Dalam hati aku menangis. Dalam perjalanan pulangpun aku yang biasanya cepat dan cenderung buru-buru dengan motorku, aku hanya bisa jalan pelan-pelan dan mataku berair, berkaca-kaca. Begini ya, rasanya ditolak.

Meski demikian, Aku tetap berteman dengannya. Bahkan, dia bertanya kepadaku terkait pekerjaannya. Dia seorang guru IPA SMP, apabila ada materi kimia yang belum tahu atau bingung, dia bertanya kepadaku. Belum lama ini juga, dia berkonsultasi tentang karya ilmiah yang dibuat siswanya. Aku dimintanya untuk memberikan masukkan. Saat ini dia sudah punya suami dan aku hadir dalam misa dan resepsi perkawinannya. Aku senang dan akan mengingatkan dia sebelum menghubungiku harus sepengetahuan suami. Aku gak mau jadi perusak rumah tangga orang.

Keempat, Hana. Hana itu sempat menjadi seorang duta wisata untuk daerahnya. Dia dari Wonogiri, cuma beda kecamatan dengan Yusti. Hana itu belajar di prodi seni rupa dengan konsentrasi Desain Komunikasi Visual. Hana ini, menurutku, merupakan "rebutan" banyak orang. Sejauh aku mengenalnya, Hana itu cantik banget, cukup stylish, kreatif, suaranya alto (aku suka). Secara fisik, menurutku sempurna.

Aku bingung mau cerita dari mana. Aku mulai dekat dengan Hana, ketika aku mau lulus. Dia terkejut, ketika mengetahui aku sudah lulus dan wisuda. Aku menemuinya di Unnes dan kami janjian di depan laboratorium kimia. Akhirnya kami berfoto sebagai kenang-kenangan. Aku tidak ingat, apakah aku sudah menghapus fotonya atau masih ada hingga sekarang. Aku tidak pernah mengunggah foto bersama orang lain, tanpa seizin orang lain itu. Aku sebenarnya juga suka dengannya dan ingin kenal lebih dalam tentangnya. Akhirnya kami ke gereja bareng, kadang ngantar dia ke tempat kerjanya, pernah kehujanan bareng juga serta sewaktu PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) Covid-19, kami bersama-sama ke GMKA.

Hingga suatu saat, aku datang ke pameran karya seninya. Aku melihat karyanya yang bagus dan unik. Ada satu karya yang menurutku unik dan ternyata aku salah memaknai karya itu. Aku menduga waktu itu, karyanya bercerita tentang pembabtisan awal suatu daerah, ternyata tidak. Karya itu menceritakan proses adat dan penerimaan orang tua dalam gereja. Aku sempat berpikir, kalau orang tua itu dibabtis. Ternyata maksudnya bukan begitu. Orang tua ini diberikan kesempatan untuk menerima berkat perdana dari anak yang telah menjadi imam dan secara adat, membuat orang tua ini menjadi dihormati.

Setelah kami melihat-lihat karya seni buatannya, kami ngobrol di cafe yang kebetulan berada tidak jauh dari ruang pameran itu. Di cafe itu kami ngobrol tentang karya seni dan juga sedikit tentang pembicaraan berat (menurut orang kebanyakan) lainnya. Tidak aku sangka, ternyata nyambung banget. Selain topik itu, aku memberanikan diri untuk berkata, "Na, mungkin gak sih, kita itu tinggal bersama? Tentu saja setelah relasinya sah, ya; bukan modelan kumpul kebo, gitu. Aku suka sama kamu." Oh iya, aku memanggil Hana dengan panggilan Na atau Nana. Dia menjawab yang intinya dia tidak tahu dan saat ini dia sedang mengembangkan karirnya sebagai seniman. Dia sangat butuh lingkungannya saat itu. Kalau memang dia harus meninggalkan lingkungannya saat itu, karirnya sebagai seniman akan sulit berkembang. Dia juga berpendapat, bahwa sebaiknya aku fokus dengan studi dan pekerjaanku saja. Menurutnya, hal itu lebih layak untuk dijalani dan dilakukan saat ini olehku. Aku anggap itu sebagai penolakan. Beberapa waktu setelah itu, ternyata dia memang sudah punya kekasih. Aku kecewa dengannya dan ya sudahlah.

Kerja

Aku kerja sebagai guru di salah satu SMK swasta di Semarang. Aku masih berpikir untuk mencoba mewujudkan keinginanku menjadi rohaniawan katolik itu, meskipun sebenarnya masih entah mau bagaimana. Pada masa ini, aku menggunakan pengambilan keputusan "keledai"8. Jadi selama aku bekerja itu, aku mengikuti program prompang Serikat Yesus sambil bekerja dan satu program lagi dari kepala sekolah, yang sebenarnya aku tidak cocok, yaitu Sekolah Evangelisasi Pribadi yang memang khusus diadakan untuk guru.

Sedikit alasan, mengapa aku merasa tidak cocok dengan Sekolah Evangelisasi Pribadi ini, bukan berarti aku ini setan atau pengikut setan, ya?! Aku tidak cocok dengan program Sekolah Evangelisasi Pribadi karena cara mereka yang tidak aku sukai. Mereka menggunakan pendekatan karismatik, sedangkan aku sendiri merasa cenderung seorang katolik yang tradisional secara liturgis, agak liberal dalam hal moral serta agak anti terhadap gerakan pinggir jurang seperti karismatik. Ada sebuah statement yang keluar dari mulut seorang imam: "pada akhirnya semua orang katolik akan karismatik juga." Sepertinya statement itu harus dikritisi secara dalam. Jadi, aku memang lebih senang menggunakan lagu-lagu dalam Graduale Romanum, Liber Usualis, Puji Syukur dan Madah Bakti daripada lagu-lagu yang baru hasil aransemen yang belum secara luas diterima umat; tetapi secara moral, aku cenderung mengikuti ajaran Konsili dan para Bapa Suci. Andaikan kamu berpendapat, "aku tidak tahu lagu Graduale Romanum dan Liber Usualis seperti apa", aku akan menjawab, ya itu dampak dari dahulu, mungkin para imam misionaris tidak memperkenalkannya secara luas dan dibiasakan kepada umat. Selain itu, umat juga harus dididik dan diperkenalkan, bahwa Gereja Katolik itu luas dan kaya. Benar, memang. Gerakan karismatik ini terkendali dan dikendalikan oleh kaum hierarki. Lagi-lagi, tidak semua orang cocok dengan gerakan karismatik itu. Singkatnya, aku menjalankan program Sekolah Evangelisasi Pribadi itu ya sekedar menjalankan kewajiban saja.

Lagipula, berbarengan dengan program Sekolah Evangelisasi Pribadi, aku juga menjalankan program prompang Serikat Yesus. Aku benar-benar penuh dan sibuk banget. Sibuk dengan pekerjaan, sibuk dengan tugas tambahan lain yang dibebankan untukku oleh sekolah dan juga urusan pribadiku. Singkat cerita, program Sekolah Evangelisasi Pribadi selesai dan melalui prompang Serikat Yesus itu, aku mengambil keputusan untuk tidak menjalani panggilan sebagai rohaniawan. Setidaknya untuk saat itu saja. sebab entahlah mungkin dikemudian hari bisa jadi keputusanku ini berubah. Untuk saat itu, aku tidak ingin menjalani panggilan sebagai rohaniawan. Aku tidak tahu juga, apakah ini mencobai Tuhan. Aku menilai diriku, kalau aku tampaknya terlalu bodoh untuk yang namanya relasi dan mengolah diri. Entah mengapa.

Setelah aku memutuskan itu, hidupku hanya berisi kerja, belajar tentang uang dan keuangan serta mempersiapkan pensiun; setidaknya untuk diriku sendiri. Aku tidak berpikir apapun, sebab sebagai seorang guru waktu itu, adalah keputusan gila jika memutuskan untuk punya pacar dan menikah. Menurutku lebih baik aku menua sendirian daripada punya istri tetapi dia sendiri tidak mencintaiku, dengan keadaanku. Kau tahu kan, bagaimana gaji seorang guru di Republik ini? Bahkan tampaknya perempuanpun jijik mendekati guru-guru muda dengan gaji seperti itu. Hanya perempuan yang tulus dan kuat saja yang mampu untuk menikah dengan guru muda dengan gaji seperti itu.

Terserah kamu mau menyalahkan aku atau akan mengatakan: "gak semua perempuan seperti itu, krish." Aku gak peduli. Aku cuma mengungkapkan apa yang sudah aku alami selama ini. Sialnya, aku belum nemu perempuan yang mendamba kesederhanaan dan kerahasiaan; terutama kesederhanaan. Singkatnya: gak masalah tidak ada pesta pernikahan, gak masalah cuma misa doang di Gereja, gak masalah undangannya berupa kode yang hanya bisa dipecahkan orang tertentu; sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa datang. Sialnya lagi, komunitas masyarakat kita ini rada brensek juga. Artinya begini: padahal orang tuanya itu terpandang atau dianggap baik oleh masyarakat, kenapa gak ada pesta pernikahan untuk anaknya? Hei masyarakat gak tahu diuntung, emang kalau kita nodong duit ke kalian, keberatan, kah? Ya udah. Ini pesta-pestaku, yang menikah aku, suka-suka lah.

Berarti, aku bekerja selama 4 tahun mengajar menjadi guru dengan segala dinamikanya. Aku melanjutkan studi untuk kuliah magister. Selain itu, sebenarnya studi magister ini, sekaligus exit plan-ku untuk berhenti dari sana. Yah.., kamu tahulah, dalam tulisanku tentang Catatan Akhir Kuliah Magisterku; aku masih menjadi Tequila, padahal bukan.

Kuliah magister

Dengan kondisi yang tergopoh-gopoh mundur dari pekerjaan dan terasa tanpa istirahat, aku langsung menghadapi perkuliahan yang sudah cukup lama aku tinggalkan. Dalam hal ini, aku yang biasanya mengajar menjadi yang diajar. Tidak apa-apa menurutku, tetapi tetap saja perlu ada penyesuaian kembali. Pekerjaanku di SMK swasta itu sebenarnya tidak mengajar kimia, tetapi mengajar matematika. Kebanyakan orang beranggapan bahwa topik mengajarnya tidak jauh-jauh amat dari yang pernah dipelajari di perkuliahan. Ternyata tidak juga, belum lagi ternyata perkembangan ilmu kimia sangat pesat.

Teman satu angkatanku ternyata ada juga yang katolik, ada 2 orang dan keduanya dari Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keduanya menarik, tetapi mereka sudah memiliki pujaan hati masing-masing. Ya sudahlah. Lagipula, aku ke UGM untuk belajar. Sampai pada akhirnya aku masuk laboratorium untuk memulai pra-tesis (pra-tesis itu bisa dibilang sebagai penelitian pendahuluan. Seandainya pun pada proses pra-tesis sudah mulai penelitian, ya tidak masalah meskipun belum ambil matakuliah tesis.) Laboratorium kimia komputasi UGM itu dipakai oleh semua jenjang, bahkan dipakai juga oleh orang lain dari prodi non kimia, seperti farmasi dan kedokteran. Otomatis, aku bisa kenal banyak orang, mulai dari tingkat sarjana sampai doktoral.

Dalam laboratorium kimia komputasi UGM itu aku turut membantu untuk mengajari teman-teman mahasiswa yang sedang penelitian dan kurang mengerti tentang Linux. Mereka memang terbantu dan akupun turut senang. Lagipula, aku juga merasa diuntungkan, karena aku menjadi semakin paham dengan Linux dan memberikan aku keberanian untuk bereksperimen.

Laboratorium kimia komputasi UGM sewaktu aku pertama masuk di dalamnya, jarang ada mahasiswi. Mungkin saja, mereka merasa sulit jika ingin penelitian kimia komputasi. Aku menduga, mereka cenderung bingung; sebab pada komputer yang mereka pakai sehari-hari berbeda dengan komputer di laboratorium. Benar, Linux. Mereka tidak biasa dengan Linux. Sedangkan mahasiswanya lebih banyak, karena penasaran atau memang computer nerd aja. Jadi tidak mengherankan, jika jarang ada mahasiswi yang penelitian di laboratorium kimia komputasi UGM.

Suatu hari, ketika aku mengurus dan mempersiapkan perangkatku untuk penelitian dalam kerangka riset pra-tesis, aku melihat seorang mahasiswi yang tidak berjilbab sedang duduk dan menghadapi perangkatnya. Sejenak aku amati, ternyata dia sedang melakukan optimasi geometri dari struktur aktif suatu usulan obat untuk mengobati kanker payudara. Aku tidak tahu siapa namanya, sebab kita belum kenalan. Menurutku, dia cantik. Setelah aku mencari informasi di antara teman-teman yang berkerja di laboratorium, aku jadi tahu kalau namanya Indah. Indah ini dipastikan ke laboratorium setiap hari jumat, sehingga aku mencoba untuk mengenalnya.

Oh iya. Laboratorium kami ini ada di lantai 6 di fakultas MIPA UGM, tepat di bawah auditorium Herman Yohanes FMIPA UGM. Gedung itu ada lift dan tangga biasa. Di dekat lift di lantai 6 terdapat meja dan kursi yang menghadap langsung gunung Merapi. Aku ingat, ketika pagi atau siang hari yang cerah, aku bisa melihat Merapi dengan gagah dan anggun. Spot itu, menjadi salah satu spot kesukaanku untuk makan siang atau belajar.

Suatu jumat, Indah yang menggunakan kemeja merah agak ungu (maaf aku gak tahu nama warna), yah.., warnanya seperti warna indikator phenolphtalein dalam kondisi basa. Kemudian, secara tidak sengaja, aku melihat ke arah leher dan tulang selangkanya. Ternyata dia menggunakan kalung yang terlihat familiar bagiku. Benar, kalung Rosario berwarna sama dengan warna kemejanya dengan bentuk maniknya seperti mawar. Rosario yang bagus. Aku bertanya padanya, "Kamu dari paroki dan keuskupan mana?" Dia sedikit terkejut, mungkin karena aku menanyai pertanyaan itu. Boleh jadi dia menduga, dari mana aku tahu kalau dia itu katolik. Dia menjawab, kalau dia berasal dari Keuskupan Agung Samarinda dan Paroki Tenggarong. Aku merasa senang ada yang seiman di laboratorium. Lantas aku bertanya ke mana biasanya dia ke gereja. Dia menjawab bahwa biasanya di Paroki St. Yohanes Rasul Pringwulung, namun juga berpindah-pindah.

Setelah percakapan itu, ternyata Indah belum sepenuhnya yakin, kalau aku katolik juga. Sebuah peristiwa yang meyakinkannya kalau aku juga seorang katolik adalah dari lagu yang aku nyanyikan setelah pulang dari laboratorium. Jadi, kami sempat untuk lembur di laboratorium. Aku tidak ingat hari apa, waktu itu kami pulang sekitar pukul 19. Dalam perjalananku keluar pintu laboratorium ke depan lift, aku bernyanyi Tantum Ergo. Lagu khas yang dinyanyikan saat adorasi Sakramen Mahakudus dan Kamis Putih. Indah baru menyadari, kalau aku benar-benar katolik.

Aku memberinya perhatian dengan menawarkan bantuan, entah ketika dia sedang di laboratorium atau saat bingung menulis skripsinya. Waktu itu dia kebingungan dengan fenomena atom hidrogen yang hilang dari senyawanya, lantas aku membantunya dengan memberikan mekanisme reaksi yang mungkin relevan. Untuk pertanyaannya ini, aku juga berkonsultasi kepada temanku yang memang termasuk dalam peminatan Kimia Organik. Dia merasa sangat terbantu.

Selama aku kuliah magister, memang aku awalnya tidak begitu intens untuk mendekatinya, karena kesibukan kuliah magister. Sampai beberapa teman sepeminatan yang mengamati dan kita berbicara secara pribadi yang intinya memotivasi untuk mendekatinya dengan cara mengajaknya ke gereja bersama. Aku mencobanya dan dia mau untuk ke gereja bersama. Sejak saat itu, kami sering ke gereja bersama. Kami sering ke Gereja St. Antonius Padua Kotabaru, Yogyakarta. Bahkan ada teman satu angkatanku yang melihat kami. Mereka yang melihat kami itu hanya senyum-senyum saja sambil melihatku. Seingatku, Yos dan Andre yang melihat kami. Kami pun juga safari ke gereja-gereja lain juga.

Sampai pada saat kami ada acara jalan-jalan bersama dengan teman-teman satu laboratorium ke Ketep Pass. Kebetulan hari itu adalah hariku nembak Indah, jadi agenda kami dobel, pagi hari sampai siang, kami dan teman-teman satu laboratorium ke Ketep Pass dan malam harinya, aku dan Indah ke alun-alun kidul Yogyakarta. Ide ke alun-alun kidul Yogyakarta ini adalah idenya, dia yang mengajakku untuk sekedar ngobrol di sana.

Oke, pagi hari hingga siang di Ketep Pass, kami melebur dengan teman-teman yang lain. Di Ketep Pass itu, kami hanya foto-foto dan sekedar makan makanan ringan murah. Yah mahasiswa dan sudah tanggal tua. Wkwkwkwk..., nah detik ini aku ceritakan karena aku merasa cemburu dengan salah seorang teman laki-laki Indah yang kelihatan sangat akrab. Aku segera mendekati mereka dan aku tidak peduli, apakah ekspresi cemburuku ini kelihatan atau tidak. Singkat cerita, aku diajak juga untuk berfoto. Untungnya, emosiku tidak meledak waktu itu. Aku tetap sadar diri, bahwa teman Indah itu sudah mengenal dan berinteraksi dengannya lebih lama. Jadi aku merasa maklum. Akupun sadar, jadi begini ya rasanya cemburu itu. Aku merasa detak jantungku meningkat dan emosi marah hampir meledak.

Malam harinya, aku menjemput Indah di kosnya untuk ngobrol di alun-alun kidul Yogyakarta. Kami mencari tempat untuk duduk dan koran sebagai alasnya. Kami mulai ngobrol-ngobrol tentang pribadi masing-masing. Kemudian, Indah juga menggunakan kartu untuk membantu kami mengobrol. Aku tidak begitu ingat, kartu apa yang kemudian membuatku berkata, "Indah, aku merasa beruntung bisa bertemu kamu di UGM. Aku merasa senang dan sebenarnya sejak lama, ketika aku tahu kamu, aku penasaran denganmu. Yah.., selain itu, sudah lama banget aku gak seperti ini, jalan bareng sama cewek, ngobrol-ngobrol. Jadi pacarku ya, ndah?" Mungkin dia kaget dengan apa yang aku katakan. Waktu itu, dia tidak secara langsung menjawab iya atau tidak. Aku sebenarnya sudah siap mental, kalau Indah menolaknya. Yah.., seperti yang sudah kamu baca pada alinea sebelumnya, aku sudah pernah ditolak sama Yusti. Jadi ya tidak apa-apa. Ternyata dia memerlukan waktu untuk menjawabnya. Kita mulai ngobrol itu sekitar jam 20 dan tanpa sadar, kita sudah ngobrol selama 3 jam. Kejadian ini terjadi pada hari ibu, 22 Desember 2023.

Setelah hari-hari itu, aku kembali menjalani aktivitas seperti biasanya. Mengenai jawaban dari Indah, aku menghilangkan harapan untuk diterima. Hingga setelah natal 6 Januari 2024 dan aku sudah kembali ke UGM lagi, Indah mengajakku untuk olahraga pagi di Wisdom Park UGM. Waktu itu sih biasa aja, aku dengannya berolahraga. Bahkan sempat ketemu temanku, aku merasa terkesan kayak ke-gap gitu. Maksudku, mungkin dalam pikirannya, "Cieh.., Krishna jalan ama cewek." Siapa yang tahu, kan? Setelah kami selesai berolahraga, kami menepi di salah satu sudut Wisdom Park itu. Kami ngobrol-ngobrol hal random. Kemudian, Indah bilang, "Mas.., jadi pacarku, ya?" Aku tersenyum dan memegang tangannya sambil menjawab, "Iya, ndah, aku mau." sambil kita saling bersandar. Aku merasa bahagia, ternyata Indah menjawab iya. Sampai kos, kebahagiaanku itu masih terasa sampai besoknya kami ke gereja bareng.

Temanku, ketika aku menulis paragraf sebelumnya, aku masih bisa merasakan rasa kebahagiaan itu. Selain itu, aku juga sedikit berkaca-kaca mengenang peristiwa yang monumental dalam relasi romantis kami. Aku berharap, waktu itu, relasi ini bisa berlanjut sampai sah menjadi suami istri. Relasi kami, ternyata tidak bisa bertahan sesuai dengan harapanku. Ya, akhirnya kami putus.

Sebelum kita lanjut ke bagaimana kami putus, aku akan menceritakan kelanjutan dari cerita kami. Kami akhirnya sering ke gereja bareng, jalan bareng juga. Banyak tempat-tempat kami datangi hanya untuk sekedar ngobrol dan saling mengenal. Sampai pada Indah wisuda dan kembali ke Samarinda. Aku jelas mengantarnya ke bandara YIA. Kami juga sempat ngobrol secara pribadi sebelum keberangkatan pesawat.9 Aku memintanya supaya kita tetap kontak entah lewat chat, terutama lewat telpon. Seringnya kami ngobrol lewat video call. Topik pembicaraan kami ya banyak hal, terutama hal-hal agar kami semakin kenal. Aku merasa semuanya lancar-lancar saja.

Gambaran obrolan kami, antara lain seperti ini: aku bercerita kegiatanku di laboratorium dan kampus, kemudian Indah bercerita tentang kakaknya yang ternyata sudah melahirkan. Aku pernah diberikan pertanyaan oleh Indah tentang relasi kita, misalnya: kalau dia jalan dengan orang lain, apakah aku memperbolehkan? Kemudian apa yang aku perlukan sebenarnya (waktu itu)? Aku menjawab pertanyaan pertama, tentu boleh. Masalahnya, kami belum menikah. Aku belum jadi suami sahnya, akupun bukan juga bapak kandungnya. Jadi aku merasa tidak masalah untuk jalan dengan orang lain, meskipun sebenarnya agak tidak rela kalau dia jalan dengan cowok. Aku tidak tahu apakah jawabanku ini benar atau salah. Untuk jawaban pertanyaan kedua, aku menjawab, aku perlu dukungan dan semangat untuk mengerjakan tesis. Yah.., kitapun sebaiknya juga saling mendukung. Kami juga sempat main game bareng, main pico park secara online. Intinya kami melakukan semua, agar meningkatkan bonding satu sama lainnya.

Aku senang, Indah bisa menemaniku dalam mengerjakan tesis. Aku sempat mengeluh dan bercerita, kalau aku merasa terlambat sebab sebentar lagi usiaku 30 tahun. Yah.., kamu tahu kan? Maksudku di Republik ini relatif lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan pada usia 30 tahunan, padahal kemenaker sudah memperingatkan untuk menghapus syarat diskriminatif itu. Yah.., kalau dipikir-pikir, usia 30 tahunan itu sepertinya lebih sulit diatur. Iya, kah? Aku gak tahu sih. Aku belum pernah mempekerjakan orang. Aku bisa mengeluh, karena memori masa laluku yang menurutku menyedihkan. Mungkin kamu sudah tahu, aku merasa ketika mengerjakan skripsi, aku merasa sangat sendirian. Teman-teman lain sudah selesai, teman-teman lain sudah wisuda, teman-teman lain minta tolong padaku dan aku tidak dapat apapun; dukungan moral pun tidak. Aku merasa, selama ini ucapan: "Semangat ya, Krish." itu tidak cukup.

Sedikit tentang masa itu, aku merasa perkembangan untuk mengerjakan skripsiku itu lambat. Aku merasa mengapa tidak bisa seperti yang lainnya, yang relatif cepat. Padahal aku mengikuti sesuai dengan arahan pembimbing. Aku menolong teman-temanku untuk membaca hasil instrumen yang mereka dapat, mendiskusikan topik mereka dan lain sebagainya. Aku bingung, apa batasan egois dan kerelaan menolong orang lain? Aku merasa sulit menolak. Terkesan, mereka itu tidak tahu diri, kalau aku sebenarnya sedang tidak ingin diganggu lah atau yang lainnya. Mengapa mereka tidak tanya, aku sedang repot atau tidak gitu lho. Yah.., dasarnya aku dulu masih jadi tequila, ya.

Belakangan mengenai pengerjaan skripsi dan bahkan tesis, aku kembali diingatkan oleh Pak Niko, bahwa mengerjakan tesis itu bukan untuk mendapatkan hadiah Nobel. Beliau mengingatkan bahwa penelitian untuk Nobel bisa dilakukan bertahun-tahun dan dilakukan oleh lebih dari satu orang. Jadi, apabila kita mendapatkan hasil tertentu dan mungkin tidak sesuai dengan harapan kita, tidak masalah. Dari data yang kita dapatkan, apa yang bisa kita tulis? Terakhir kali bertemu Pak Harjito pun juga demikian, beliau memahami, bahwa kemauankulah mengapa skripsiku bisa lama. Sekali lagi, sebagian besar orang menuduh bahwa Pak Harjito yang menghalang-halangi untuk bisa lulus cepat, padahal tidak. Sejak awal aku sudah bilang ke orang yang tanya, memang penelitianku itu seperti ini. Belum lagi alat yang antri lama. Misalnya punya sendiri, ya enak saja. Alat yang dimaksud itu adalah gas kromatografi dan mass spectra, surface area analyzer, XRD, XRF yang tidak bisa sembarangan dimiliki oleh orang biasa. Asal engkau tahu, ya alat itu berharga paling murah 300-an juta rupiah. Kalau yang bagus, ya bisa miliaran. Hanya institusi dan lembaga penelitian yang bisa memilikinya, kan? Mereka saja yang tidak mengerti dan (faktanya) percuma aku jelaskan.

OK, kembali ke Indah. Aku merasa beruntung dan berterima kasih banget, karena ada Indah. Indah sudah menemaniku mengerjakan tesis hingga sidangku. Diapun juga mengapresiasiku dengan mengunggah fotoku di akun Instagram-nya sebagai story. Aku senang sekali. Aku tidak pernah dibeginikan selama aku mengerjakan skripsi. Aku berterima kasih, sampai pada hari itu tiba, 18 Desember 2024. Dia minta untuk putus dalam video call. Aku kaget dan sedih dalam hati. Mengapa relasi selama hampir 1 tahun ini, selesai begitu saja? Lantas, aku bertanya ke Indah, mengapa mau putus. Dia ingin jadi pribadi yang lebih baik dulu. Dia merasa menjadi beban keluarganya. Dia ingin bekerja dan kuliah magister. Mungkin dia merasa belum mampu untuk mengimbangiku. Selain itu, aku juga masih punya mimpi untuk doktoral, mungkin ada orang lain yang lebih pantas. Aku hanya diam dan bertanya apa karena LDR, sehingga kita jadi seperti ini? Dia hanya menjawab, bahwa hasilnya akan sama saja. Sekali lagi, aku hanya diam dan masih tidak percaya bahwa kejadian ini akan terjadi. Padahal aku sudah merencanakan untuk memberinya hadiah Natal dan aku tetap mengirimkan hadiah Natal itu kepadanya. Malam itu, aku tidak bisa tidur, meskipun mencoba untuk tidur. Besok paginya aku berangkat ke laboratorium dengan lemas dan gemetaran karena sedih. Aku bercerita kepadamu yang waktu itu sudah datang duluan ke laboratorium. Kamu sendiri tidak percaya, kok bisa seperti itu.

Kodisiku saat ini

Aku meyakini bagian dari kitab Mazmur10, yang selalu menjadi bagian dari doa di kaki altar pada misa forma extraordinaria merupakan sesuatu yang nyata. Dia, Sang Hidup, menggembirakan masa mudaku dan Dia sendiri telah menyatakannya dalam kondisiku saat ini.

Mazmur 42

Seperti cerita yang telah dituliskan pada bagian dari pos ini sebelumnya, aku bahkan sampai menghentikan proses penulisan artikel ilmiah yang aku minta dia koreksi penulisan bahasa Inggrisnya. Ketika aku melihat hasil koreksinya, aku jadi sedih dan teringat dia. Jika pak Niko tahu akan hal ini, pastilah dengan lembut memberiku masukkan termasuk relasiku ini atau bahkan mengatakan: "ah.., kerjakan mana yang menjadi prioritas. Kalau kalian memang jodoh, entah bagaimana caranya, pasti akan bertemu kembali." Aku memiliki keinginan terkait artikel ilmiah itu adalah menulisnya dan mempublikasikannya. Misalnya, koreksi dari reviewer perlu tambah data, maka akan aku lakukan.

Dalam kondisi sedih itu, aku melampiaskan ke project-project hobi (wujudnya tertulis dalam pos blog ini juga, yaitu: iseng dalam pembuatan library Codeigniter 4 untuk link Gambar pada Google Drive) dan kursus bahasa Inggris yang memang aku perlukan, sebab skor ujian kecakapan bahasa Inggris yang kurang dan juga sudah lebih dari 2 tahun atau sudah habis masa berlakunya. Oh.., iya, project hobi ini juga untuk membantu temanku yang memang sedang mencari orang untuk membuat website UMKM dan sifatnya juga tidak terburu-buru. Ya sudah aku buat dan sekalian untuk membuah semacam mini content management system11 yang sederhana. Aku membuatnya semampuku dan aku sudah mempresentasikan hasil pekerjaanku dihadapan temanku itu, meskipun belum selesai. Dia merasa cukup baik dengan pekerjaanku dan memintaku untuk melanjutkannya hingga tuntas. Bagaimana keadaannya sekarang? Masih aku kerjakan dan aku masih mencari ide untuk menghubungkannya dengan API Google dan membuka fitur-fitur yang aku perlukan dari Google. Aku mengerjakannya diantara sela-sela kegiatanku. Sebab setelah kuliah selesai, aku diminta banyak hal entah yang berkaitan dengan gerejawi (yang pastinya cenderung pro bono), ataupun belajar.

Kegiatan gerejawi itu bentuknya adalah paduan suara, yah.., boleh dibilang berkesenian juga. Sekitar Paskah tahun 2025 ini, aku mendapatkan misi yang agak memiliki beban mental tersendiri. Meskipun aku menderita beban mental itu, aku menikmati dan bisa dibilang bahagia juga. Aku menjadi sedikit mengerti, mengapa Tuhan Yesus Kristus bahagia menderita bagi manusia. Menurutku, Tuhan Yesus Kristus itu memiliki kerahiman yang dalam dan luas. Yah.., lebih dalam dari palung Mariana dan lebih luas dari samudra Pasifik, bahkan lebih luas dari jagad raya. Ada 4 misi yang membuatku benar-benar sibuk dan berkaitan dengan paduan suara. Pertama, misi paduan suara untuk misa forma ordinaria minggu palma di Gereja St. Paulus Sendhangguwa, Semarang. Kedua, paduan suara untuk misa forma ordinaria berbahasa Inggris di Gereja St. Mikhael, Semarang Indah. Ketiga, Passio di Kapel St. Athanasius Agung Fasilitas Kerohanian UGM, Yogyakarta. Keempat, aku mempersiapkan paduan suara dan ikut terlibat di dalamnya untuk nuptial mass (misa perkawinan); dengan bentuk misa forma extraordinaria. Sibuk banget, ya. Benar dan juga aku mengeluarkan cukup banyak uang untuk ini. Mungkin detail dan apa yang aku rasakan, akan aku buat tulisannya pada waktu luangku. Semua aktivitas itu masih di sekitar Paskah. Semoga saja aku bisa bangkit dari keadaan ini, sama seperti Kristus; harapanku yang bangkit dengan jaya.

Selain kegiatan itu, aku juga sedang mempersiapkan untuk ujian IELTS dengan mengikuti kursus yang hingga aku menuliskan pos ini, aku masih menjalankannya. Sebelum dimulai kursus itu, aku mengikuti simulasi ujian IELTS di Unika Soegijapranata (sekarang rebranding menjadi Soegijapranata Catholic University atau SCU). Simulasinya wow, cukup menantang. Simulasi yang meningkatkan adrenalin. Menurut kawanku yang studi ilmu psikologi, rasa senang atau bahagia karena adrenalin adalah biasa. Benar, aku senang dengan simulasi itu, meskipun hasil simulasinya masih jauh dari harapan.

Singkat cerita, setelah simulasi dengan kondisi yang lapar, aku mencoba untuk ke kantin di SCU. Alangkah terkejutnya aku, aku ketemu teman lamaku, Agatha, yang saat ini sudah janda. Suaminya meninggal karena sakit. Aku baru tahu, ternyata dia bekerja di SCU. Sepanjang jam istirahatnya, kami berbincang tentang kabar kita masing-masing. Akupun juga mengucapkan duka cita atas suaminya yang ternyata belum lama meninggal.

Sekitar lebaran, dia mengirimkan pesan direct message Instagram yang intinya mengajakku untuk nonton film yang berjudul Last Supper di bioskop. Aku pikir, dia ingin mencari sosok bapak untuk anaknya; jadi dia mendekatiku. Ternyata aku salah wkwkwkwk, setelah selesai menonton film itu, dengan tegas dia mengungkapkan agar aku mencari orang lain yang belum pernah menikah. Menurutnya, menikahi janda yang sudah punya anak dari suami sebelumnya itu setidaknya harus mendapatkan 2 hati, yaitu hati anak dan sang ibu. Lagipula, banyak juga cewek katolik lain yang belum pernah menikah dan tidak punya pacar; begitu tambahnya. Setelah kita menonton film itu, kita membicarakan tentang film tadi dan pelajaran hidup dari pengalaman masing-masing.

Dari pembicaraan kita, aku berkesimpulan bahwa kami memiliki hati yang sama-sama terluka. Dia yang masih belum bisa lepas dari duka suaminya yang sudah meninggal dan juga menjadi orang tua tunggal bagi anaknya. Aku yang kamu tahu dari cerita ini. Memang kami saling mendukung dan tampaknya kami dapat saling menyembuhkan; meskipun dia menegaskan untuk tidak terburu-buru untuk kembali menjalin relasi romantis lagi dengan perempuan. Sama dengan pesan yang telah diketik oleh Angel, peristiwa putusnya relasi romantisku ini dapat menjadi bahan untuk semakin mengenal diri sendiri. Proses pengenalan diri sendiri ini mungkin saja akan membawaku kepada cara hidup yang lain. Bisa saja, aku cocok dengan cara hidup sebagai rahib atau pertapa; demikian ungkapnya temanku sang orang tua tunggal itu. Sejujurnya, aku bingung dengan hidup ini dan bagaimana cara hidup yang baik. Jika memang pada akhirnya kembali kepada kehendak bebas masing-masing pribadi, maka aku hanya akan melihat bagaimana diriku sendiri dan seberapa nyaman aku dengan cara hidup yang sesuai dengan pilihanku.

Orang lain lagi yang ada di sekitarku yang membantuku untuk tidak terlalu terpuruk dengan akibat relasi romantis yang gagal itu. Banyak sih. Mereka baik banget, seperti: Angel, Yutta, Ayu, Bertina dan juga Wily. Aku terima kasih sudah mau mendengarkan dan memberikan petunjuk. Aku malahan baru sadar, entah mengapa kebanyakan orang yang mau mendengarkan perempuan ya? Apakah aku sebenarnya kehilangan sosok ibu yang mau mendengarkan? Ataukah mereka hanya kasihan denganku? Kalau memang benar, karena kasihan, malang benar nasibku, ya. Aku gak ngerti sih. Jangan-jangan seperti itu, tapi aku tidak boleh untuk melakukan diagnosa sendiri. Selain itu, aku juga merasa perlu untuk ke psikolog untuk berdiskusi sembari dia melakukan diagnosa.

Lalu, bagaimana relasi romantis berikutnya? Aku tidak tahu. Kondisiku saat ini, cuma ingin segera doktoral ke Austria atau negara lain (mungkin Jepang). Seandainya karena keadaan, aku dirahmati dengan mendapatkan pekerjaan impianku sebagai dosen, aku merasa tidak masalah dan sangat beruntung. Aku mungkin akan berlutut, menangis syukur di depan salib. Mungkin aku kurang mampu berelasi romantis dengan perempuan, namun Allah ternyata ingin berelasi denganku dan mencintaiku secara unik. Aku mungkin akan kembali untuk bertemu dengan Indah di Samarinda, itupun sejauh dia belum memiliki siapapun yang istimewa. Seandainyapun dia sudah punya yang lain, aku tidak menyesal sudah susah payah kumpulkan uang untuk ke Samarinda. Yah..., relasiku dengannya tetap ada sebagai relasi Cinta Platonik yang tidak dipahami oleh sebagian besar orang di Republik ini.

Kesimpulan

Aku banyak berkisah, ya. Memang kisah yang aku tulis ini bukan kisah yang detail, semoga saja kamu ada gambaran. Kembali ke judul post blog ini, aku menyimpulkan memang belum ada saja yang, kata anak sekarang, itu sefrekuensi. Kalaupun oleh beberapa kolega, tempat kerjaku dulu, menasehati untuk ditargetkan married pada umur tertentu, menurutku sejauh kami siap saja, siap secara mental, finansial dan spiritual; terutama finansial. Jika tidak segera ketemu juga orang yang sefrekuensi, ya sudah. Akupun tidak memaksa. Mungkin pada kesempatan lain, aku akan menuliskan perempuan macam apa yang sesuai dengan kriteriaku dan apa yang aku inginkan dalam sakramen perkawinanku besok.

Terima kasih ya, sudah mah membaca sampai selesai. Semoga dari apa yang aku tulis ini, kamu bisa belajar sesuatu.

Catatan Kaki

1 Gurindam 12 merupakan salah satu karya sastra yang terkenal di Indonesia. Isi dari gurindam itu adalah nasehat-nasehat.
2 Solisitasi merupakan salah satu proses sebelum seseorang bergabung dalam Serikat Yesus sebagai Novis. Salah satu isinya adalah ujian tertulis semacam ujian potensi skolastik. Ujian itu bukan satu-satunya proses solisitasi, namun merupakan bagian dari solisitasi.
3 Bapa Benediktus XVI telah menjelaskan dalam ensiklik Deus caritas est, bahwa terdapat 3 tingkatan cinta dan cinta yang tertinggi adalah cinta Agape, cinta tanpa syarat. Bapa Benediktus XVI menggambarkan cinta Agape itu seperti cinta antara suami dan istri yang saling mencintai. Dalam dokumen yang sama juga disebutkan bahwa cinta transaksional disebut juga sebagai cinta eros.
4 Waktu itu SMS sangat populer. Ada profider yang ketika penggunanya sudah mengirimkan 4 SMS sehari, seterusnya bisa gratis. SMS kelima tidak dipotong pulsa.
5 Maksud dari keterangan "secara administratif" adalah nama pengajar yang tertulis di Sistem Akademik Terpadu (Sikadu) Unnes. Kuliah agama Katolik di Unnes waktu itu adalah team teaching dan ada kegiatan Analisa Sosial yang secara spesifik merupakan media belajar untuk mengimplementasikan Ajaran Sosial Gereja. Sebuah ajaran yang mungkin sebagian besar orang Katolik Indonesia takut untuk melaksanakannya. Lantas, terdapat 4 orang dosen yang mengajar waktu itu: suster Kristo, pak Petrus Clover Ismianto dan Pak Sugiyanta Stanlislaw. Kegiatan Analisa Sosial diampu oleh dosen dengan dibantu asisten dari mahasiswa.
6 Extra ecclesia, nulla salus memiliki arti di luar Gereja, tidak ada keselamatan. Dogma ini sering digunakan secara tidak tepat, sebab dogma ini muncul untuk memberantas bida'ah. Dogma ini berlaku, ketika seseorang yang karena salahnya sendiri tidak mengimani Allah Tritunggal dan Gereja-Nya yang satu, kudus, Katolik dan Apostolik. Menurutku, orang yang murtad dan hingga akhir hayatnya tidak bertobat dan kembali, maka dogma ini berlaku. Aku bisa salah tentang penjelasan dari dogma ini, namun kembali lagi, secara moral, aku tidak punya hak untuk menghalangi orang lain untuk beralih keyakinan.
7 Mengapa aku menyebutnya rumah? Karena tempat tinggalku waktu itu memang satu buah rumah gaya tahun 1980-an yang secara hukum milik dari kakekku dari bapak. Nah.., rumah itu kosong ditinggal oleh nenekku yang belum lama meninggal. Dengan izin keluarga bapak, aku dan adikku yang bersekolah di Semarang diizinkan untuk tinggal di situ, sambil merawat rumahnya. Saat ini, rumah itu sudah laku dijual.
8 Pengambilan keputusan "keledai" yang dimaksud adalah pengambilan keputusan yang menggunakan suatu peristiwa atau benda yang menjadi indikator, tanpa melibatkan pemikian mendalam dan konsekuensi logis dari semua data yang diketahui oleh pengambil keputusan. Pengambilan keputusan "keledai" dahulu juga dilakukan oleh St. Ignatius Loyola dalam perjalanannya ke Yerusalem yang diriwayatkan dalam buku Warisan dan Petuah St. Ignatius Loyola yang ditulis oleh Luís Gonçalves da Câmara, SJ. Jadi, St. Ignatius Loyola waktu itu, ingin mencelakai seseorang dari bangsa Moor, karena telah mencuri barang miliknya. Orang Moor itu ternyata tidak selalu menyertai St. Ignatius, dia terpisah dipersimpangan. Santo Ignaitus yang sedang dalam perjalanan ke Yerusalem dengan naik keledai itu, membiarkan keledainya untuk mengambil jalan. Jika keledainya mengambil jalan yang sejalan dengan orang Moor itu, maka St. Ignatius akan mencelakainya. Kenyataannya, keledai itu mengambil jalan lain.
9 Indah dibantu oleh ibu dan kakaknya, kak Anggun, untuk beres-beres kos dan pulang ke Samarinda. Tentu saja, aku membantu mereka untuk membawakan barang-barang Indah.
10 Bab Mazmur untuk Kitab Suci Terjemahan Baru LAI mungkin berbeda dengan Vulgata yang tertera pada gambar.
11 Content management system secara sederhana merupakan sistem yang dibuat untuk mengatur konten dalam sebuah website. Contoh dari content management system yang umum digunakan adalah Wordpress.

0 comments: